oleh: Isna Sulastri FKIP Uninus
1. PENGANTAR
Badan Standar Nasional Pendidikan ( BSNP ) menetapkan “keterbacaan wacana” sebagai salah satu kriteria yang harus dipenuhi oleh setiap buku pelajaran. Di lain pihak, rupanya masih banyak buku pelajaran yang belum memiliki tingkat keterbacaan tinggi. Jika buku-buku seperti ini tetap akan dipakai sebagai bahan ajar di kelas, guru perlu menyelaraskan wacananya dengan daya baca siswa terlebih dahulu. Bertemali dengan hal ini, Harjasujana (1987:25) mengingatkan kita (baca: Guru) melalui pernyataan berikut, “ Salah satu dari tugas-tugas yang merupakan tantangan kuat yang terpenting bagi guru SLTP dan SLTA ialah menyelaraskan siswa dengan buku yang bisa digunakan secara efektif”.
Untuk melakukan itu tentu saja guru perlu memiliki kompetensi dan performansi yang memadai di bidang tersebut. Dalam kenyataan terlihat kesan bahwa konsep keterbacaan belum sepenuhnya dipahami oleh sebagian orang, termasuk oleh kalangan akademikus sekali pun. Ini terlihat pada pemakaian istilah tersebut dalam kalimat. Mereka sering mempertukarkan penggunaan istilah “keterbacaan” dengan “keterpahaman”, seakan-akan kedua istilah itu memiliki makna yang sama.
Realita itu memicu penulis untuk melakukan kajian teoretis tentang ketebacaan dan seluk beluknya, dengan harapan kiranya tidak terjadi lagi perkeliruan penggunaan di masa mendatang. Keinginan hati ini terasa semakin menguat ketika mengetahui bahwa wacana berbahasa Indonesia yang membicarakan perihal keterbacaan ini ternyata masih sangat langka. Di atas kelangkaan sumber bahan ini, penulis merakitnya menjadi sebuah wacana sederhana seperti yang kini berada di tangan pembaca. Tujuan utamanya untuk berbagi ilmu, betapa pun belum sempurnanya ilmu yang disajikan di dalam wacana ini. Bukankah Tuhan menghimbau kita untuk selalu berbagi ilmu walau hanya satu ayat? Selamat membaca semoga bermanfaat.
2. KETERBACAAN DAN KETERPAHAMAN: Sama atau berbedakah?
Echols dan Shadily (1982: 468) menjelaskan bahwa “keterbacaan” atau readable /ks/ berarti “dapat dibaca”. Setelah membaca Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1988:62) penulis mengetahui bahwa keterbacaan itu merupakan “ … perihal dapat dibacanya teks secara cepat, mudah dimengerti, dipahami, dan mudah pula diingat”. Selanjutnya Cowie (1989:1043) selaku Chief Editor Oxford Advanced Learner’s Dictionary memadankan “keterbacaan” ini dengan istilah read-able /adj/ dan atau read-ab-il-ity /n/ yang berarti “dapat dibaca dengan mudah dan nyaman”. Dalam pandangan Podo dan Sullivan (1989:79) istilah readable bermakna “terbaca”. Kridalaksana (1994) pun memaknai keterbacaan sebagai taraf dapat tidaknya suatu karya tulis dibaca oleh orang yang mempunyai kemampuan membaca yang berbeda-beda.
Sejalan dengan pandangan sebelumnya, Harjasujana dan Mulyati (1996/1997) selaku pakar membaca menjelaskan bahwa keterbacaan ini berkaitan dengan perihal terbaca-tidaknya wacana oleh pembacanya. Pandangan senada dapat pula dilihat dalam konsep Depdiknas (2005) yang memaknai keterbacaan sebagai perihal kemudahan baca bagi siswa. Selanjutnya Richards et al dalam Nababan (2007) mengungkapkan bahwa keterbacaan pada dasarnya merujuk pada seberapa mudah teks tulis dapat dibaca dan dipahami oleh pembaca.
Dengan mencermati pandangan para pakar sebelumnya, dapat kiranya ditegaskan bahwa sesungguhnya keterbacaan itu mempersoalkan tingkat kesulitan dan atau tingkat kemudahan-baca suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kajian keterbacaan sasaran utamanya adalah wacana, bukan pembaca wacananya (Sulastri, 2010). Oleh karena itu jika ditemukan adanya kalimat yang berbunyi, “Keterbacaan pembaca terhadap wacana ternyata masih rendah”, menurut penulis ini tergolong contoh pemakaian istilah keterbacaan yang keliru. Contoh-contoh sejenis ini ternyata banyak ditemukan, terutama dalam skripsi mahasiswa.
Kalau kita cermati lebih jauh, keterbacaan dan keterpahaman itu merupakan dua istilah yang sangat bertemali. Begitu bertemalinya, terkadang sebagian orang membuat definisi dan penjelasan yang membingungkan sehingga kita sulit menemukan pemisah antara yang satu dengan yang lainnya. Agar tidak terjadi salah kaprah –seperti contoh di atas– akibat kebingungan, kita harus mampu memilahnya agar terlihat jelas perbedaan antara keterbacaan dengan keterpahaman itu.
Untuk itu harus ada upaya. Setelah berburu sumber bahan, alhamdulillah rupanya Echol dan Shadily (1982: 134 ) membekali kita. Beliau memadankan istilah “keterpahaman” dengan comprehensible yang berarti “dapat dipahami”. Berkaitan dengan ini, Flood (1984) dalam Nababan (2007) menjelaskan pula bahwa keterpahaman pembaca sangat dipengaruhi oleh faktor keterbacaan wacana yang merupakan keseluruhan unsur dalam sebuah wacana tulis. Selanjutnya Sakri (1994) dalam Damaianti (1995) menambahkan bahwa “Salah satu faktor yang menentukan keterpahaman adalah ketedasan”.
Dari uraian sebelumnya kita mulai melihat perbedaan dan hubungan kait antara kedua istila tersebut. Jika kita sepakat dengan pandangan sebelumnya, tentu kini dapat diyakini bahwa keterbacaan (readable) sesungguhnya berbeda dengan keterpahaman (comprehensible). Oleh karena itu, para peneliti keterbacaan seharusnyalah menjadikan wacana sebagai sasaran utama penelitiannya. Bagaimana dengan penelitian tentang keterpahaman? Kajian keterpahaman sasarannya tentulah pembaca wacana itu. Dengan informasi singkat ini, diharapkan tidak akan terjadi lagi perkeliruan dan salah kaprah dalam pemakain kedua istilah itu. Semoga… !
Agar pembaca –terutama yang berminat meneliti keterbacaan– memperoleh wawasan keilmuan yang lebih luas dan lebih menukik perihal keterbacaan dan keterpahaman itu, sebaiknya meluangkan waktu untuk membaca ulasan dan atau hasil penelitian yang dilakukan antara lain oleh Sulastri (2010), Suherli (2008), Utorodewo (2007), Salem (1999), Harjasujana dan Mulyati (199/1997), Kurniawan (1996), Djajasudarma dan Nadeak (1996), Damaianti (1995), Baradja (1991), Tampobolon (1990), dan Hafni (1981). Tentu saja akan lebih baik lagi jika kita memperkaya wawasan dengan membaca sajian terkait dari buku-buku sumber berbahasa asing yang lebih banyak tersedia.
3. KETERBACAAN: Seberapa pentingkah?
Pada bagian awal tulisan ini sudah dijelaskan bahwa BSNP telah menetapkan “keterbacaan” sebagai salah satu dari lima aspek yang dijadikan standar penilaian buku pelajaran yang baik. Ini menandakan bahwa faktor keterbacaan wacana harus menjadi perhatian utama dalam penulisan wacana, terutama untuk bahan ajar dan buku pelajaran. Kita menyadari bahwa buku pelajaran adalah media pembelajaran yang dominan peranannya di kelas. Oleh karena itu, buku pelajaran harus dirancang dengan baik dan benar dengan memperhatikan kelima standar yang ditetapkan itu. Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22/2007 maka buku pelajaran yang dipakai di setiap sekolah seharusnya memenuhi standar kelayakan tersebut. Khusus mengenai keterbacaan, tentulah diharapkan kiranya wacana-wacana yang tersaji dalam buku pelajaran selalu memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi bagi siswa yang akan membacanya.
Berkaitan dengan itu, Klare (1984) menyatakan bahwa bacaan yang memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi akan mempengaruhi pembacanya. Bacaan seperti ini dapat meningkatkan minat belajar, menambah kecepatan dan efisiensi membaca. Tidak hanya itu, bacaan yang memiliki tingkat keterbacaan tinggi biasanya dapat memelihara kebiasaan membaca para pembacanya karena mereka merasa dapat memahami wacana seperti itu dengan mudah.
Perlu disadari bahwa kemudahan pemahaman merupakan ciri yang harus dipertahankan dalam sebuah karya ilmiah. Semakin ilmiah sebuah karya tulis seharusnya pemahaman pun semakin mudah pula. Hal ini dapat dimengerti karena keilmiahan sebuah karya tulis berhubungan erat dengan faktor-faktor kesistematisan, kelogisan, kebahasaan, dan keteraturan dalam berpikir. Semua faktor ini kalau terpenuhi dengan baik sebetulnya akan mengarah kepada kemudahan pemahaman.
4. KETERBACAAN: Apa sajakah faktor yang mempengaruhinya?
Gray dan Leary yang dikedepankan oleh Harjasujana dan Mulyati, (1996/1997) mengidentifikasi adanya 289 faktor yang mempengaruhi keterbacaan sebuah wacana. Dari sekian banyak faktor itu menurut mereka dua puluh faktor di antaranya dinyatakan signifikan. Untuk mengenal sebagian dari faktor-faktor dimaksud, mari kita simak pandangan para pakar tentang ini.
Dupuis dan Askov (1982) mengedepankan empat faktor penentu tingkat keterbacaan sebuah wacana. Keempat faktor tersebut adalah (1) faktor kebahasaan dalam teks, (2) latar belakang pengetahuan pembaca, (3) minat pembaca, dan (4) motivasi pembaca. Dalam hubungannya dengan faktor kebahasaan seperti yang diungkap Askov tersebut, Nuttal (1989) merincinya menjadi dua faktor utama, yakni (1) kekomplekan ide dan bahasa yang terdapat dalam wacana serta (2) jenis kata yang digunakan dalam wacana tersebut.
Masih tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keterbacaan wacana, Baradja (1991:128) menjelaskan bahwa, “faktor-faktor yang bertanggung jawab akan adanya kesulitan dalam hal membaca suatu teks banyak sekali”. Faktor-faktor itu beliau kelompokkan menjadi dua, yaitu kesulitan secara makro dan mikro. Ke dalam faktor makro ini, Baradja menyebutnya antara lain perbedaan latar belakang penulis dengan pembaca, termasuk di dalamnya perbedaan pengetahuan, bahasa dan kode bahasa yang digunakan, kebudayaan dan perbedaan asumsi. Dari segi mikro, ditulisnya antara lain kesulitan dalam memahami ungkapan, afiksasi, kata sambung, serta pola kalimat. Kesulitan-kesulitan dari segi mikro ini, menurut beliau terutama dirasakan oleh orang asing yang membaca wacana berbahasa Indonesia atau sebaliknya oleh orang Indonesia yang membaca wacana berbahasa asing.
Demi menghemat ruang, dalam tulisan ini penulis akan merinci dua faktor saja yang menurut para pakar termasuk faktor yang paling sering dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengukuran keterbacaan wacana berbahasa Indonesia.
1) Panjang kalimat dan kerumita kata
Menurut Hafni (1981:22) semua formula keterbacaan mempertimbangkan faktor panjang kalimat ini. Kalimat yang lebih panjang cendrung lebih ruwet dibandingkan dengan kalimat pendek. Lebih jauh dikatakannya bahwa panjang kalimat merupakan indeks yang mencerminkan adanya pengaruh jangka ingat (memory span) terhadap keterbacaan. Beberapa peneliti berdasarkan penelitian yang dilakukannya membuktikan bahwa faktor panjang kalimat ini termasuk salah satu faktor yang menyebabkan sebuah wacana sulit dipahami (Lihat antara lain Damaianti, 1995 dan Kurniawan, 1996). Ini berarti bawa faktor panjang kalimat diyakini sangat berpengaruh terhadap tingkat keterbacaan sebuah wacana.
Kecuali itu Hafni juga menegaskan bahwa “semua formula baca bertolak dari ukuran kata”. Berkaitan dengan ini, Harjasujana dan Mulyati (1996/1997: 107) menegaskan bahwa “Penelitian yang terakhir membuktikan bahwa ada dua faktor yang berpengaruh terhadap keterbacaan, yakni (1) panjang pendek kalimat, dan (2) tingkat kesulitan kata”. Lebih jauh mereka mengatakan bahwa formula keterbacaan yang sering digunakan dewasa ini untuk mengukur keterbacaan wacana, berkecendrungan kepada kedua tolok ukur tadi.
Berdasarkan kajian terhadap literatur lain yang sempat penulis lakukan, ternyata kedua faktor tersebut dijadikan sebagai dasar bagi pengukuran keterbacaan dalam berbagai formula, seperti pada formula Spache, Dale & Chall, SMOG, Fry, Rygor, dan Cartanya Rudolf Flesh (Hafni, 1981).
2) Perbedaan latar belakang penulis dengan pembaca
Seperti dikatakan Gray dan Lary pada bagian awal pembicaraan tentang faktor yang mempengaruhi keterbacaan ini, Baradja (1991) juga mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keterbacaan wacana banyak sekali. Dia melihatnya secara makro dan mikro. Kesulitan-kesulitan dilihat dari segi makro menurutnya antara lain adalah faktor perbedaan latar belakang antara penulis dan pembaca. Perbedaan latar belakang ini menurutnya meliputi perbedaan budaya, asumsi, dan penguasaan ilmu-ilmu tertentu.
Dalam hubungan itu, sebagai contoh Baradja mengangkat cerita Gone With the Wind karya Margaret Mitchell. Menurut beliau cerita ini akan lebih mudah dipahami oleh orang Amerika dibanding oleh masyarakat Indonesia. Dengan lebih tegas diungkapkannya bahwa isi pesan yang dituangkan dalam cerita itu akan lebih mudah lagi dipahami orang Amerika yang hidup dan dibesarkan di daerah Atlanta, Amerika. Mengapa begitu? Hal ini tentu disebabkan adanya persamaan latar belakang dan persamaan kebudayaan antara penulis dan pembaca cerita tersebut karena cerita tersebut menurut beliau mengangkat fenomena yang terjadi di daerah Atlanta. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa cerita Gone With the Wind lebih kontekstual bagi masyarakat Atlanta.
Hal seperti digambarkan Baradja tadi (mungkin) juga akan terjadi manakala pembaca dengan latar budaya yang berbeda harus pula memaknai pepatah Minangkabau yang berbunyi sebagai berikut.
1) Bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mufakaik
2) Bagaikan tungku nan tigo sajarangan
3) Anak dipangku kamanakan dibimbiang
Teman-teman dari tataran Sunda atau dari etnis lainnya (mungkin) kurang dapat memahami secara lebih mendalam maksud yang tersimpan dalam pepatah itu semudah yang dirasakan oleh masyarakat Minangkabau. Bahkan hal yang sama (mungkin) juga akan dirasakan oleh masyarakat Minangkabau yang lahir dan dibesarkan di luar ranah Minangkabau, sebut saja Minangkabau KTP. Ini antara lain disebabkan karena pepatah Minang teramat kental dengan “nuansa budaya” yang mewarnai kehidupan masyarakat Minangkabau dulu.
Gambaran seperti diuraikan sebelumnya, dipertegas Baradja (1991:129) melalui pernyataan berikut, “Bacaan yang penuh dengan bias kebudayaan dapat menimbulkan kesulitan dalam memahaminya”. Pandangan ini tentu dapat kita manfaatkan sebagai sumber inspirasi untuk menelitinya. Harus disadari bahwa hasil penelitian seperti ini akan sangat bermakna bagi dunia pendidikan, terutama jika dimaksudkan untuk kepentingan penyediaan bahan ajar Muatan Lokal (Mulok). Anda tertantang? Jika ya, silakan hadirkan hasil penelitian ilmiah tentang ini!
5. KETERBACAAN: Bagaimanakah mengukurnya?
Menurut Hafni (1981) ada tiga jenis metode yang biasa digunakan untuk mengukur keterbacaan wacana. Ketiga metode tersebut adalah (1) formula (2) grafik dan carta, serta (3) prosedur klos (cloze procedure). Lebih jauh dijelaskannya bahwa ada empat formula yang biasa dipakai oleh para peneliti keterbacaan. Pemilihan ini menurutnya didasarkan pada pertimbangan kepraktisan dan kesederhanaan penggunaannya. Keempat formula tersebut adalah Reading Ease, Human Interest, Dale and Chall, serta Fog Index.
Bagaimana dengan grafik dan carta? Tentang ini menurut Hafni (1981) ada tiga macam grafik yang biasa dipakai, yaitu grafik Fry, grafik Mc.Laughlin, dan grafik Mugford. Mengenai Carta, disebutnya antara lain Carta Rudolf Flesch. Selanjutnya tentang Prosedur Klos ( selanjutnya penulis namai dengan Tes Lesap ) beliau mendasarkan pada teori yang dikedepankan Taylor (1953).
Dalam uraian selanjutnya idealnya penulis menyajikan secara agak rinci tentang dua jenis pengukuran, yaitu Formula Fry dan Tes Lesap. Dasar pertimbangannya antara lain karena kedua teknik ini cocok dipakai untuk pengukuran keterbacaan wacana berbahasa Indonesia. Akan tetapi karena perihal Tes Lesap sudah pernah dimuat dalam blog ini ( lihat http:// uniisna-wordpress. com/2010/07/20/teknik-rumpang-sebagai-sebuah-instrumen/ ), maka sajian berikut hanya mengulas tentang “Formula Fry”. Ini dilakukan untuk meminimalkan pengulangan.
6. FORMULA FRY: Apakah itu?
Banyak pakar mengakui bahwa Formula Fry merupakan satu metode pengukuran yang cocok digunakan untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana tanpa melibatkan pembacanya. Kecuali itu, Fry juga dapat menentukan kelayakan sebuah wacana bagi tingkat kelas tertentu dilihat dari sudut keterbacaannya. Dengan begitu memilih Fry sebagai metode pengukuran keterbacaan wacana guna melihat keselarasannya dengan pembaca, menurut penulis dapat dipandang sebagai pilihan tepat.
Formula Fry ini dirancang oleh Edward Fry. Menurut Harjasujana dan Mulyati (1996/1997) formula ini pertama kali dipublikasikan dalam Journal of Reading ( 1977). Dari kedua pakar ini penulis mengetahui bahwa Formula Fry ini merupakan hasil upaya untuk menyederhanakan dan mengefisienkan teknik penentuan tingkat keterbacaan wacana.
6.1 FORMULA FRY: samakah dengan grafik Fry?
Fry bekerja dengan memanfaatkan grafik yang dirancangnya, yaitu Grafik Fry. Grafik ini sarat dengan garis dan angka seperti terlihat dalam gambar berikut. Oleh karena itu untuk memanfaatkan Formula Fry, tidak cukup hanya dengan mempelajari deskripsi tentang cara kerjanya atau hanya dengan menampilkan grafiknya. karena hal ini akan membuat kita bingung. Karenanya deskripsi haruslah disertai grafiknya. Dengan begitu, mudah-mudahan ketika membaca penjelasan kita dapat melihat realitanya dalam grafik.
Seperti diketahui, Fry mendasarkan kajiannya pada dua faktor utama, yaitu (1) panjang-pendeknya kalimat dan (2) tingkat kerumitan kata atau panjang pendeknya kata. Sebelum membahas segala sesuatu tentang penggunan Formula Fry ini, sebaiknya kita mencermati grafik itu terlebih dahulu dengan secermat-cematnya. Ini penting agar kita dapat memahami penjelasan selanjutnya sambil melihat realitanya di dalam grafik. Inilah grafik dimaksud.
Grafik Fry
Apakah maksud angka-angka yang tertera dalam grafik itu? Sependek yang penulis ketahui, angka di samping kiri grafik, seperti 25,0; 20,0; 16,7 dan seterusnya hingga angka 3,6 menunjukkan data rata-rata jumlah kalimat perseratus perkataan. Selanjutnya angka yang tertera di bagian atas grafik seperti angka 108, 112, 116 dan seterusnya sampai dengan angka 172, menunjukkan data jumlah suku kata perseratus perkataan. Angka-angka ini mencerminkan panjang pendeknya kata yang dapat diketahui dari jumlah perkataan yang terdapat dalam wacana sampel.
Bagaimana dengan angka-angka yang berderet dalam “badan grafik” yang tersaji di antara garis-garis penyekat grafik itu? Angka itu menunjukkan perkiraan tingkat keterbacaan wacana yang diukur. Angka satu menunjukkan bahwa wacana yang diteliti cocok untuk pembaca level satu (kelas satu), angka dua menunjukkan bahwa wacana itu cocok untuk pembaca level dua, dan begitulah seterusnya, angka 12 menunjukkan bahwa wacana tersebut cocok untuk pembaca level 12 atau kelas 12.
Daerah yang diarsir di sudut kanan atas dan sudut kiri bawah grafik Fry yang terlihat gelap itu, merupakan wilayah invalid. Artinya, jika titik pengukuran jatuh di daerah itu, berarti wacana yang diteliti dinyatakan invalid (baca: tidak cocok dengan pembaca tingkat mana pun, karena wacana tersebut tergolong wacana yang gagal atau tidak baik digunakan sebagai bahan ajar). Wacana seperti itu harus diganti dengan wacana lain yang lebih baik atau diselaraskan terlebih dahulu oleh guru yang akan memakai wacana itu.
Selain berupaya menyelaraskan wacana dengan daya baca siswa, guru juga perlu berupaya dengan segala cara untuk meningkatkan daya baca siswa, agar mereka menjadi “pembaca matang” Berkaitan dengan ini, profesor kita yang dikenal sebagai pakar membaca yakni Harjasujana (1987:25) mengingatkan kita (baca: Guru) melalui pernyataan berikut, “ Salah satu dari tugas-tugas yang merupakan tantangan kuat yang terpenting bagi guru SLTP dan SLTA ialah menyelaraskan siswa dengan buku yang bisa digunakan secara efektif”
6.2 FORMULA FRY: Mengedepankan faktor apa sajakah?
Sajian sebelumnya sudah mengungkapkan dengan jelas bahwa Formula Fry mendasarkan kajiannya pada dua faktor utama, yaitu (1) panjang-pendek kalimat dan (2) tingkat kesulitan kata. Dalam hubungan ini, Harjasujana dan Mulyati (1996/1997:111) menegaskan bahwa, “… untuk menolokukuri tingkat kesulitan sebuah kalimat dengan kriteria panjang pendeknya kalimat, tampaknya tidak mengundang masalah”. Kenyataan membuktikan bahwa kalimat kompleks memang jauh lebih sulit jika dibandingkan dengan kalimat tunggal. Bagaimanapun kalimat kompleks sarat dengan ide, sarat gagasan, sarat dengan konsep, sedangkan kalimat tunggal hanya mengandung sebuah ide, sebuah gagasan dan sebuah konsep tertentu. Oleh karena itu kalimat kompleks tentu lebih sukar memahaminya ketimbang kalimat-kalimat tunggal.
Kecuali itu Harjasujana dan Mulyati (1996/1997) juga membekali penulis dengan beberapa catatan penting tentang pemanfaatan grafik Fry. Pertama, jika yang akan diteliti adalah keterbacaan wacana dalam sebuah buku, maka pengukuran sebaiknya dilakukan sekurang-kurangnya tiga kali, dengan memilih sampel yang berbeda. Untuk ini peneliti dapat mengambil sampel wacana dari bagian awal, tengah, dan bagian akhir buku. Akan tetapi jika yang akan diteliti berupa artikel, jurnal, atau surat kabar, pengukuran dapat dilakukan satu kali saja, kecuali jika penulisnya berbeda-beda.
Kedua, formula Fry pada awalnya dirancang untuk pengukuran wacana berbahasa Inggris. Mengingat sistem persukuan kata-kata berbahasa Inggris sangat berbeda dengan sistem pola suku kata bahasa Indonesia, maka formula Fry ini tidak dapat digunakan langsung untuk meneliti keterbacaan wacana berbahasa Indonesia. Namun demikian, bukan berarti tidak dapat dipakai sama sekali. Peneliti wacana berbahasa Indonesia dapat menggunakan formula ini, asal saja dimodifikasi terlebih dahulu
Sehubungan dengan pandangan terakhir itu, Harjasujana dan Mulyati (1996/1997: 123) menawarkan satu model modifikasi yang mereka rancang berdasarkan pada satu penelitian terhadap buku Lancar Berbahasa Indonesia 2 untuk Sekolah Dasar kelas 4 karangan Dendy Sugono. Cara yang mereka tawarkan adalah dengan menambah satu langkah lagi –di luar langkah yang ditetapkan Fry–, yakni dengan cara memperkalikan hasil perhitungan suku kata (sesuai dengan prosedur kerja Fry) dengan angka 0,6. Angka 0,6 ini menurut mereka merupakan perbandingan antara jumlah suku kata bahasa Inggris dengan jumlah suku kata bahasa Indonesia, yakni 6:10. Artinya, enam suku kata bahasa Inggris, kira-kira sama dengan sepuluh suku kata bahasa Indonesia.
6.3 FORMULA FRY: Bagaimana prosedur kerjanya?
Edward Fry ( dalam Harjasujana dan Mulyati (1996/1997 ) memperkenalkan lima prosedur kerja yang perlu ditempuh dalam penggunaan formula ini. Kelima langkah ini adalah sebagai berikut.
Pertama, memilih penggalan wacana representatif yang panjangnya lebih kurang 100 perkataan. Langkah kedua, menghitung jumlah kalimat dari seratus perkataan yang terdapat dalam wacana sampel, hingga persepuluhan terdekat. Artinya, jika kata yang termasuk hitungan 100 buah perkataan tidak jatuh di ujung kalimat, maka penghitungan kalimat menjadi tidak utuh, karena ada sisa. Kata yang bersisa tetap dihitung dalam bentuk desimal.
Sekedar contoh model penghitungannya dapat dlihat melalui contoh di bawah ini. Wacana contoh ini dikutip dari As-Sirjani (2007:149).
1Suatu 2hal 3yang 4perlu 5diwaspadai 6oleh 7para 8pembaca 9dan 10para 11penuntut 12ilmu, 13yakni 14jangan 15sampai 16ia 17tidak 18mengamalkan19ilmu 20yang 21ia 22baca. 23Pembaca 24yang 25sukses 26ialah 27pembaca 28yang 29mengamalkan 30ilmu 31dan 32hasil 33bacaannya, 34supaya 35Allah 36mewariskan 37ilmu 38yang 39belum 40ia 41ketahui 42kepadanya 43dan 44membukakan 45mata 46hati 47dan 48akalnya.
49Ketahuilah 50bahwa 51apa 52saja 53yang 54Anda 55baca 56dan 57Anda 58ketahui, 59kelak 60akan 61menjadi 62hujjah. 63Apakah 64ia 65akan 66menjadi 67pembela 68bagi 69Anda 70atau 71justru 72sebagai 73malapetaka? 74Maka, 75janganlah 76Anda 77memperbanyak 78malapetaka 79yang 80akan 81Allah 82timpakan 83kepada 84Anda.
85Selain 86itu, 87tidak 88mengamalkan 89ilmu 90merupakan 91salah 92satu 93faktor 94utama 95yang 96menyebabkan 97keberkahan 98ilmu 99dicabut 100Allah.
Perlu kiranya dijelaskan, bahwa model penghitungan manual seperti itu, sebenarnya sekarang dapat dilakukan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi komputer.
Kalau kita coba mengimplementasikan pekerjaan langkah dua tadi, dapat dikatakan bahwa wacana sampel itu terdiri atas enam kalimat utuh. Keenam kalimat utuh itu adalah sebagai berikut.
(1) Suatu hal … baca.
(2) Pembaca yang sukses … akalnya.
(3) Ketahuilah bahwa apa … hujjah.
(4) Apakah ia akan … malapetaka?
(5) Maka, janganlah Anda …Anda
(6) Selain itu, … Allah.
Langkah ketiga, yaitu menghitung jumlah suku kata pada wacana sampel tadi. Untuk memudahkan penghitungan jumlah suku kata yang terdapat dalam wacana yang diteliti, kita dapat memberi angka sesuai jumlah suku kata yang terdapat pada setiap perkataan. Ini sebuah pekerjaan yang sebenarnya sangat mudah tetapi sekali gus juga sangat membutuhkan ketelitian dan kecermatan. Kekeliruan pada tahap pemberian angka ini akan berakibat fatal, karena berkaitan erat dengan hasil yang akan dicapai kelak, yaitu penentuan tingkat keterbacaan sebuah wacana.
Mari kita lihat implementasinya dalam contoh berikut.
Contoh
Suatu3 hal1 yang1 perlu2 diwaspadai4 oleh2 para2 pembaca3 dan1 para2
penuntut3 ilmu2, yakni2 jangan2 sampai2 ia1 tidak2 mengamalkan4 ilmu2 yang1
ia1 baca2. Pembaca3 yang1 sukses2 ialah2 pembaca3 yang1 mengamalkan4 ilmu2 dan1 hasil2 bacaannya4, supaya3 Allah2 mewariskan4 ilmu2 yang1 belum2
ia1 ketahui4 kepadanya4 dan1 membukakan4 mata2 hati2 dan1 akalnya3.
Dengan bekal angka-angka pembantu untuk memudahkan perhitungan itu, dapat kita ketahui bahwa jumlah suku kata yang terdapat dalam kalimat contoh di atas adalah 45 suku kata. Pekerjaan seperti itu perlu dilakukan terhadap kalimat nomor dua dan seterusnya, sehingga diketahui jumlah semua suku kata yang terdapat dalam wacana sampel.
Pada langkah keempat, peneliti dapat mengestimasi tingkat keterbacaan wacana sampel dengan memanfaatkan formula Fry. Caranya dengan melihat titik temu hasil langkah kedua dengan hasil langkah ketiga. Pertemuan baris horizontal (jumlah suku kata perseratus perkataan) dengan baris vertikal (jumlah kalimat perseratus perkataan) dalam formula Fry itu akan menunjuk angka tertentu yang sekaligus merupakan angka estimasi tingkat keterbacaan wacana tersebut bagi pembacanya.
Sesuai namanya –mengestimasi–, maka tingkat keterbacaan wacana itu masih berupa perkiraan. Oleh karena itu, penyimpangan masih sangat mungkin terjadi. Karenanya, Harjasujana dan Mulyati (1996/1997:120) menganjurkan agar dalam penetapan peringkat keterbacaan wacana sampel, peneliti perlu melakukan pekerjaan langkah kelima, yaitu menambah satu tingkat atau mengurangi satu tingkat. Sebagai contoh, jika titik pertemuan dari persilangan baris horizontal (untuk data jumlah suku kata) dan vertikal (untuk data jumlah kalimat) jatuh di wilayah lima, maka peringkat keterbacaan wacana yang diukur tersebut harus diperkirakan sebagai wacana dengan tingkat keterbacaan yang cocok untuk peringkat empat yakni (5-1), lima, dan enam (5+1) .
Seperti dijelaskan sebelumnya Formula Fry itu sebenarnya dirancang untuk mengukur keterbacaan wacana berbahasa Inggris. Lalu bagaimana jika kita meneliti wacana yang berbahasa Indonesia? Banyak pakar mengatakan bahwa sesungguhnya Formula Fry ini masih dapat dipakai tetapi para peneliti perlu menggunakan Formula Fry yang sudah dimodifikasnyai. Mengapa demikian? Karena wacana berbahasa Inggris berbeda dengan wacana berbahasa Indonesia . Perbedaan dimaksud meliputi banyak hal, antara lain bidang morfologis, sintaksis, sampai pada suku kata.
Jika peneliti belum menemukan Formula Fry yang sudah dimodifikasi dan belum sempat memodifikasi sendiri, peneliti masih dapat memanfaatkan langkah kerja Fry yang asli, dengan catatan proses kerjanya perlu ditambah satu langkah lagi seperti yang sudah diulas sebelumnya. Perlu diketahui bahwa Formula Fry hanya dapat dipergunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan wacana tanpa melibatkan pembacanya. Jika para peneliti ingin mengukur keterbacaan dengan melibatkan pembacanya, maka Tes Lesaplah yang lebih cocok. Kecuali itu, menurut banyak pakar Tes Lesap juga merupakan teknik yang paling akurat untuk mengukur tingkat keterbacaan sebuah wacana. Ini diungkapkan antara lain oleh Paulston (1978) dalam Hafni (1981:27) yang mengatakan bahwa Tes Lesap “… merupakan metode yang dipandang paling berhasil di antara sekian jenis metode yang ada sekarang”. Dengan begitu, memilih Fry dan Tes Lesap sebagai teknik untuk mengukur keterbacaan wacana merupakan pilihan yang tepat.
Banyak pemerhati keterbacaan meyakinkan kita bahwa di antara sekian banyak teknik yang dipakai selama ini, Tes Lesap dipandang sebagai teknik yang paling berhasil digunakan untuk mengukur keterbacaan wacana. Sekedar pembanding tentang ini, pembaca dipersilakan melihat pandangan Harjasujana (1987), Tallei (1988), Sakri (1994), Mulyati (1995), Damaianti (1995), Djajasudarma dan Nadeak (1996), Salem (1999) dan Sulastri (2008). Sajian selanjutnya mengungkapkan sebagian di antaranya.
Damaianti (1995) menegaskan bahwa Tes Lesap merupakan teknik yang terbukti paling handal untuk mengukur keterbacaan. Tidak hanya itu, Djajasudarma dan Nadeak (1996) mengungkapkan pula bahwa dalam pengukuran keterbacaan wacana, Tes Lesap dipandang sebagai teknik yang lebih objektif dibandingkan dengan hasil yang didapat dengan mempergunakan formula lain. Lebih jauh dikatakannya bahwa Tes Lesap ini dapat mengukur keterbacaan suatu wacana dengan melibatkan langsung pembacanya, sedangkan formula lain mengukur keterbacaan hanya dari wacanya. Selain itu, teknik ini juga berfungsi sebagai alat ukur pemahaman di samping sebagai alat ukur keterbacaan.
7. PENUTUP
Demikianlah sajian singkat perihal keterbacaan dan teknik pengukurannya. Satu hal yang seyogianya tidak boleh kita lupakan adalah bahwa keterbacaan dan keterpahaman sesungguhnya merupakan dua istilah yang berbeda tetapi sangat bertemali. Kalau kajian keterbacaan menjadikan wacana sebagai sasaran penelitian maka keterpahaman lebih memperhatikan kemampuan membaca siswa selaku pembaca wacananya.
Hal lain yang perlu disadari pula adalah bahwa sesungguhnya keterbacaan wacana –terutama dalam buku pelajaran dan atau bahan ajar– seharusnya selalu tinggi bagi pembacanya. Oleh karena itu BNSP telah menjadikan keterbacaan sebagai salah satu kriteria buku pelajaran yang baik.
Mengingat buku-buku pelajaran yang beredar di lapangan belum semuanya memiliki tingkat keterbacan wacana yang tinggi bagi pembacanya, maka guru perlu melakukan upaya penyelarasan wacana dngan daya baca siswa. Upaya ini menurut profesor kita, Harjasujana merupakan satu dari sekian tugas pokok guru yang seharusnya dilakukannya dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab.
Al-hamdu lillaahi rabbil aalamiin. Selamat tinggal 2010. jasamu kan kukenang sepanjana masa.
BAS Bandung, 30 Desember 2010
Isna Sulastri
Januari 10, 2011 at 3:58 am
Inil wujud terima kasihku untuk Prof. Dr. H. Ahmadslamet Harjasujana, M.A., M. Sc. Beliaulah motivatorku dalam membangun wacana tentang cara-cara mengukur “keterbacaan wacana”.
Siapa pun dipersilakan mengunggahnya dan memanfaatkannya untuk yang baik. Andai akan dipakai untuk membangun wacana baru, selalulah bekerja sesuai etika keilmuan yang berlaku. Apalagi jika yang memanfaatkannya dari kalangan akademikus.
Terima kasih pula untuk Pak Google dan wordpress.com yang banyak membantu mewujudkan niat tulusku untuk berbagi. Wassalam.
annisa oktaviani
September 14, 2017 at 12:05 am
bu, boleh minta pustaka dari tulisan ibu mengenai uji keterbacaan ini?
educationalmicrobiology
Agustus 17, 2011 at 4:53 am
bu isna, sangat menarik, kebetulan saya mahasiswa S3 Pendidikan IPA sedang proses disertasi. Peneletian saya berkaitan dengan argumentasi. Senang bisa membaca artikel ini, artikel ini sangat bermanfaat bagi penambahan wawasan saya.
Isna Sulastri
September 23, 2011 at 1:15 pm
Bu Yanti yang terpelajar. Terima kasih sudah berkenan mampir. Syukurlah jika wacana itu memang bermanfaat. Itulah antara lain tujuan kita menulis bukan? Saya lihat Blok Bu Yanti tampilannya jauh lebih keren dan isinya pun memberi pencerahan buat saya. Sampai jumpa. Kalau promosi doktor nanti saya diundang ya Bu.
pariyal
Maret 3, 2012 at 7:47 am
Ketidakbersuaan dengan apa yang kita cari, kadang2 membuat kita bingung. Ditengah kebingungan itu ada setitik bias cahaya yg memberikan harapan. Itulah yg sy rasakan ketika menemukan tulisan Anda ini. Sy sdh berusaha mencari buku Bpk. Harjasujana yg memuat ttg keterbacaan wacana tp sy blm beruntung. Hanya satu kata yg dpt sy ucapkan “terima kasih”. Kalau bisa berharap sy mhn dimuat bentuk grafik Fry tersebut.
uniisna
Maret 3, 2012 at 2:28 pm
Menyadari betapa letihnya jika pengembaraan seseorang tidak membuahkan hasil, mendorong saya untuk sesegeranya mempertemukan Bung Pariyal dengan grafik Fry itu. Untuk ini saya telah menyisipkannya dalam wacana tersebut, karena kekhilafan itu baru disadari kini. Silakan dimanfaatkan Bung.
Terima kasih atas kunjungan Anda dan kritik membangun yang disampaikan secara halus.
sri wahyuni
April 8, 2012 at 1:31 pm
ass.
saya sudah membaca tulisan ibu, isinya bagus dan bermanfaat bagi saya 🙂
ibu saya mau tanya, kalau buku sumber tentang keterbacaan dan daya baca apa saja ya?
terima kasih.
uniisna
April 9, 2012 at 12:08 am
Al hamdu lillah … Terima kasih Bu Sri sudah memanfaatkan wacana itu. Tentang buku sumber mengenai keterbacaan memang masih sangat langka. Oleh karena itu saya merakitnya dari beragam serpihan info yang terselip dalam beberapa sumber bahan. Sumber-sumber yang saya manfaatkan dapat Ibu lihat dalam Daftar Pustaka Tesis saya ( Silakan klik http://abstrak.digilib.upi. edu/browse.php?dir=Direktori/TESIS/PENDIDIKAN_BAHASA_INDONESIA/0909867__ ISNA_ SULASTRI/ ).
sri
April 20, 2012 at 1:45 pm
bu isna, tulisan ibu sangat membantu saya yang sedang menyusun skripsi. mhn izin untuk memakai tulisan ibu sebagai referensi. terima kasih
uniisna
April 21, 2012 at 8:54 am
Silakan. Senang sekali jika tulisan Ibu dapat membantu Anda. Manfaatkan sesuai etika akademik ya Sri, agar Anda tidak dicap sebagai plagiator.
Ahmad Syukron
Mei 14, 2012 at 3:23 am
bu mau minta daftar pustakanya?terima kasih sebelumnya
Cucu Kartini
Desember 8, 2012 at 2:34 am
Terimakasih tulisannya, masukan yang sangat berharga bagi yang memerlukannya dan khususnya bagi saya.
uniisna
Desember 8, 2012 at 10:55 pm
Alhamdulillah, semoga bermanfaat. Terima kasih atas kunjungan Bu Cucu.
Bianglala Everlasting
Desember 12, 2012 at 10:40 pm
saya mahasiswa S1 pendidikan guru sekolah dasar, saya kesulitan mencari referensi buku tentang tingkat keterbacaan, dimana saya bisa mendapatkannya? mohon infonya bu..
ilhamzamzamnurjman
Januari 24, 2013 at 11:02 pm
Salam! ibu mau bertanya kalau wacana yg ada di buku teks bahasa inggrisnya kurang dari 100 kata, masih memungkinkan bisa menggunakan rumus ini atau engga ya ?
uniisna
Januari 25, 2013 at 4:33 am
Salam kembali Ilham. Ibu senang kita bisa bersilaturrahim di sini.
Jawaban atas pertanyaan Anda sebenarnya sudah tersaji pada uraian butir 6.3. tentang “Prosedur Kerja Fry”. Pada langkah pertama Fry menganjurkan kita untuk “memilih penggalan wacana representatif yang panjangnya lebih kurang 100 perkataan”. Dengan adanya kata “lebih kurang ” itu, Ibu yakin kini Anda dapat menjawab pertanyaan sendiri bukan? Kalau masih ragu, silakan membaca kembali sajian butir 6.3 itu selengkapnya. Insya-Allah Anda akan dapat menindaklanjutinya.
Bersemangat!!!.
Sri Handayani
Januari 23, 2014 at 3:46 am
Tulisan ini sangat bermanfaat bagi saya, cuma mohon Daftar Pustakanya kok tidak ada Ya?
Dua Samudera
Maret 2, 2015 at 5:02 am
terima kasih. sangat membantu sekali. pertanyaan saya adalah : Bagaimana bila kita hendak mengukur keterbacaan suatu komik ? mengingat komik tidak memiliki wacana/paragraf sebanyak tekk pelajaran. Ini berkaitan dengan penelitian saya mengenai komik pendidikan. terima kasih bila sempat dijawab.
Lela Laelasari
April 1, 2016 at 1:46 pm
Assalamu’alaikum kakak 🙂
maaf saya mau bertanya soal grafik fry. Saya mahasiswa bhs indo yang sedang belajar tentang fry. Saya masih bingung untuk menggunakan grfik fry.. Bagaimana cara penghitungannya ya jika terdapat kalimay yang tidak utuh di akhir wacana ? Terimakasih kakak..
Ryan adi Djauhari
Mei 16, 2017 at 3:12 am
selamat pagi..
saya mau bertanya seputar keterbacaan.
yang saya baca sekarang, lebih ditujuhkan untuk media cetak, bagaimana untuk media online seperti instagram. bagaimana mengukur keterbacaan terhadap media online seperti instagram, metode dan teorinya. kemudia, apakah gambar,warna,audio juga berpengahru terhadap keterbacaan.
terima kasih
salam
-RAD-
ariahaf
Agustus 23, 2017 at 8:14 am
Assalamualaikum bu uni. Senang bisa membaca referensi yg ibu muat. Saya Hafidz mahasiswa s1 yg sedang menyusun skripsi tentang keterbacaan puisi terjemahan bu.
Yang saya ingin tahu lebih dalam apakah dua teknik ini ( fry dan tes lesap) bisa saya gunakan dalam mengukur tingkat keterbacaan dalam puisi? Mohon pencerahannya bu. Terima kasi banyak
Rahayu
April 2, 2018 at 4:11 am
Assalamualaikum, kak. Artikelnya bagus. Boleh kah saya tahu rujukan literatur nya ka? Trima kasih sblmnya.