oleh: Isna Sulastri
Abstrak
Tes Rumpang (TR) diakui oleh banyak pakar sebagai teknik yang paling berhasil digunakan untuk mengestimasi keterbacaan wacana berbahasa Indonesia. Seorang pakar membaca yang sangat dikenal, Prof. Dr. H. Ahmad Slamed Harjasujana (1987) menyebut TR sebagai teknik yang valid. Nadeak (1996) menjulukinya sebagai teknik yang relatif obyektif, sementara Damaianti (1995) memandang TR sebagai teknik yang sangkil dan mangkus. Tulisan ini dimaksudkan untuk memperkenalkan ihwal TR, mulai dari pengertian sampai pada teknik pemanfaatannya.
Kata kunci: keterbacaan wacana, tes rumpang
A. PENGERTIAN TES RUMPANG
Dari literatur yang sempat penulis pelajari, diketahui bahwa Tes Rumpang ini mula-mula diperkenalkan oleh Wilson Taylor (1953). Beliau menamainya dengan sebutan Cloze Prosedure, yang oleh para pencinta bahasa Indonesia, diindonesiakan menjadi “prosedur klos/tes klos”. Dalam tulisan ini penulis mengganti istilah Tes Klos dengan Tes Rumpang. Demi menghemat ruang, istilah Tes Rumpang ini dalam sajian selanjutnya disingkat menjadi TR.
Beberapa pakar dan pemerhati di bidang membaca membuat definisi yang beragam mengenai TR ini. Keberagaman ini kelihatannya didasari oleh keberagaman sudut pandang mereka masing-masing. Robert (1980:71) mengangkat definisi yang dibuat langsung oleh Taylor (1953:) selaku pencipta teknik ini. Definisi ini oleh Damaianti (1995:71) dikutip untuk membekali kita –para pembaca– dengan informasi dari sumber aslinya. Definisi tersebut bunyinya sebagai berikut.
The cloze procedure as a method of intercepting a message from ‘trasnmitter’ (writer or speaker), mutilating it’s language patterns by deleting parts, and so administering it to ‘receivers’ (readers and listeners) that their attempts to make patterns whole again yield a considerable number of cloze units.
Dengan memahami definisi yang diangkat Damaianti itu, kita dapat mengetahui bahwa TR menggambarkan suatu metode yang sengaja dirancang untuk melatih daya tangkap pembaca terhadap pesan penulis dengan jalan memotong pola bahasa pada bagian-bagian yang dilesapkan/dirumpangkan. Setelah itu para pembaca dituntut mampu mengolahnya menjadi pola yang utuh seperti wujudnya semula, dengan cara mengisi bagian yang dirumpangkan.
Untuk dapat mengimplementasikannya, pembaca wacana rumpang harus mampu berpikir secara analitis dan kritis guna menyelami jalan pikiran penulis wacananya. Pembaca dengan pemahaman sempurna, dituntut mampu memahami wacana yang tidak lengkap itu sebelum mengisi bagian kata yang dilesapkan dengan satu kata yang paling tepat. Dengan begitu, secara tidak langsung sebenarnya TR dapat merefleksikan pemahaman seseorang terhadap sebuah wacana. Jika dikaji lebih mendalam, ternyata kita juga dapat memanfaatkan TR ini untuk melihat intelegensi pembaca dan penulis teks serta hubungan yang satu dengan yang lainnya.
B. KEUNGGULAN TR
Beberapa pemerhati keterbacaan, seperti Paulston (1978), Chek (1983), Harjasujana (1987), Tampubolon (1990), Sakri (1994), Damaianti (1995), Mulyati (1995), dan Salem (1999) mengatakan bahwa di antara sekian banyak teknik yang dipakai selama ini, TR dipandang sebagai salah satu teknik yang paling berhasil digunakan untuk mengukur keterbacaan wacana. Untuk meyakinkan pembaca tentang informasi ini, mari kita simak pandangan sebagian dari mereka.
Harjasujana yang kemudian juga disitir oleh Salem (1999:49) mengatakan bahwa TR “ … diakui sebagai tes keterbacaan yang valid untuk pembaca yang berbahasa ibu. Hal ini menurut beliau sesuai dengan pembaca bahasa Indonesia yang umumnya mempunyai bahasa ibu, bahasa daerah atau bahasa Indonesia”. Pandangan senada dikemukakan pula oleh Damaianti (1995:78). Beliau menegaskan bahwa TR “ … terbukti sebagai tes yang sangkil dan mangkus”. Kecuali itu, Djajasudarma dan Nadeak (1996: 64) mengatakan bahwa dalam pengukuran keterbacaan wacana, TR dipandang sebagai teknik yang ”… relatif lebih objektif” dibandingkan dengan hasil-hasil yang didapat dengan mempergunakan formula lain. Lebih jauh beliau pun mengatakan bahwa sesungguhnya TR dapat “ … mengukur keefektifan suatu wacana langsung kepada pembacanya, sedangkan formula lain mengukur keterbacaan hanya dari wacanya. Selain itu, teknik ini juga berfungsi sebagai alat ukur pemahaman wacana di samping sebagai alat ukur keterbacaan”.
Hampir senada dengan pandangan terakhir tadi, Heilmann dalam Damaianti (1995: 72) mengungkapkan pula bahwa TR “ … berfungsi sebagai sumber informasi mengenai kemampuan pemahaman bacaan seseorang”. Pandangan seperti ini pun dikuatkan oleh Mulyati (1995: 47) yang menyitir pandangan Bourmuth (1969). Beliau mengatakan bahwa dari hasil penelitian Bourmuth diperoleh kesimpulan bahwa TR mempunyai korelasi yang tinggi dengan berbagai hasil tes membaca lainnya. Menurutnya, ada dua keunggulan dari TR ini. Pertama, teknik ini mencerminkan keseluruhan pengaruh yang berinteraksi dalam menentukan keterbacaan sebuah wacana. Kedua, teknik ini mengombinasikan hampir seluruh unsur yang berhubungan dengan penentuan keterbacaan.
C. PENYUSUNAN INSTRUMEN TR
Sesuai namanya, Tes Rumpang, maka TR sebagai sebuah instrumen untuk mengukur tingkat keterbacaan sebuah wacana, tentulah berupa wacana yang dirumpangkan. Dengan kata lain, wujud lahiriah TR adalah berupa wacana yang tidak utuh, karena sebagian kata-katanya sengaja dilesapkan. Pada bagian kata yang dilesapkan itu, diganti dengan garis mendatar yang panjangnya dibuat sama dengan panjang kata yang dilesapkan.
Proses pelesapan kata dari wacana, menurut Mc. Ginnis dan Smith (1982:212) dapat mengikuti ketentuan berikut. Pertama, pelesapan kata dapat dilakukan secara sistematis dan konsisten, pada setiap kata ke-n. Artinya, kata-kata dilesapkan secara beraturan, tanpa mempertimbangkan jenis kata apa yang dilesapkan itu. Kedua, pelesapan dilakukan tanpa mempertimbangkan kesistematisan. Sehubungan dengan ketentuan kedua ini, Nunan (1991:118) mengatakan bahwa pengujian dengan TR ini dapat dilakukan dengan menentukan kriteria pilihan kata apa yang akan diukur. Misalnya jika peneliti ingin mengukur keterbacaan jenis kata kerja, kata sifat, atau kata jadian (afiks) dalam sebuah wacana yang dipilih, maka kata-kata itulah yang dilesapkan.
Jika kita memilih pelesapan secara sistematis, rupanya terdapat beragam pendapat mengenai pelesapan pada setiap kata ke-n itu. Robinson (1976:32) mengatakan bahwa ada pakar yang menganjurkan untuk melesapkan pada setiap kata ketiga, kelima, dan ketujuh, bahkan hingga kata kesepuluh. Huges (1989:64) menganjurkan pelesapan pada setiap kata ketujuh. Selanjutnya menurut Harjasujana (1987) “Jumlah penghapusan kata ke-n secara random sebaiknya dibuat pada tiap kata ke-5 sampai ke-10”. Bertemali dengan himbauan ini, Damaianti (1995) dalam instrumen untuk tesisnya justru melesapkan setiap kata kelima secara sistematis.
Dalam proses pelesapan, Taylor (1953) menghimbau kita, para penyusun instrumen TR ini, agar tidak melakukan pelesapan pada kalimat pertama dari wacana yang akan dijadikan sebagai instrumen. Himbauan ini sangat perlu ditindaklanjuti karena bermanfaat sekali sebagai “pengikat makna”. Tujuannya adalah untuk membantu testi dalam mengestimasi topik yang tersimpan di balik kalimat-kalimat yang membangun wacana tersebut. Hal yang sama juga perlu dilakukan pada kalimat terakhir dari wacana tersebut.
Masih tentang ketentuan penyusunan instrumen TR ini, Cheek (1983:132) menganjurkan agar wacana yang akan dipakai sebagai instrumen idealnya memiliki panjang berkisar 250 s.d. 300 kata. Sangat dianjurkan untuk memilih “wacana lepas” maksudnya, wacana tersebut harus bebas dari pengaruh informasi sebelumnya. Hal lain yang juga sangat patut diperhatikan dalam pemilihan wacana yang akan dipakai sebagai instrumen, adalah nilai pedagogis wacana tersebut. Artinya wacana yang dipilih hendaklah wacana yang baik. Menurut Bambang Trim dalam As-Sirjani (2002) “Bacaan yang baik adalah gizi hati”. Mengapa tidak! Melalui uji keterbacaan yang dilakukan, kita juga membekali siswa dengan bacaan yang bergizi. Jika setiap peneliti membekali siswanya dengan instrumen (bahan bacaan) yang bergizi, insya-Allah murid-murid pun akan “berselera” menggali makna yang tersimpan di balik wacana yang dirumpangkan itu.
Sebagai seorang peneliti sebaiknya kita berupaya memilihkan bahan bacaan yang baik bagi murid-murid, terlebih lagi bagi guru bahasa Indonesia, karena upaya penumbuhan minat membaca siswa sebenarnya dibebankan –terutama—kepada guru bahasa Indonesia.
D. PROSEDUR PENYUSUNAN INSTRUMEN TR
Taylor (1953) dan Cheek (1983:132) menganjurkan kepada siapa pun yang akan menyusun instrumen TR, agar mengikuti langkah-langkah berikut ini:
- memilih wacana yang tingkat keterbacaannya selaras dengan daya baca siswa yang akan diuji, dengan panjang wacana kurang lebih 250 s.d. 300 kata;
- melesapkan setiap kata ke-n (jika mengikuti pola yang sistematis) atau kata tertentu sesuai target ujian;
- mengganti kata yang dilesapkan itu dengan garis mendatar sepanjang kata yang dilesapkan. Harap diingat! Pelesapan kata harus dimulai pada kalimat kedua karena kalimat pertama perlu dibiarkan utuh guna mengikat makna.
Seandainya kita sudah menyelesaikan ketiga langkah pokok di atas, pekerjaan selanjutnya adalah melengkapi instrumen tersebut sehingga layak dipakai untuk mengumpulkan data. Kelengkapan dimaksud adalah:
- memberi nomor secara berurutan pada setiap garis yang berfungsi sebagai pengganti kata yang dilesapkan itu;
- menyediakan ruang untuk identitas testi;
- membaca ulang instrumen yang sudah disusun dan merevisinya (jika ternyata Anda menemukan adanya kesalahan dalam pengetikan);
- menetapkan alokasi waktu dan menuangkannya dalam lembar instrumen TR atau dapat pula hanya diinformasikan pada siswa di saat pelaksanaan;
- membuat petunjuk pengerjaan instrumen yang diharapkan dapat membimbing testi selama proses pengisian wacana rumpang itu;
- membuat kunci jawaban, boleh berupa “kata lepas” atau wacana utuh dari teks yang sudah dilesapkan tadi.
- membuat pedoman penskoran dan pedoman penilaian.
Untuk menghasilkan instrumen TR yang baik maka setiap calon pengguna instrumen ini dituntut agar secara bersungguh-sungguh mengikuti prosedur kerja yang dijelaskan sebelumnya. Walaupun proses kerjanya kelihatannya sederhana, namun tetap memerlukan keseriusan dalam memilih bahan dan menuntut ketelitian dalam melesapkannya sesuai pilihan teknik kita.
Jika semua langkah yang dianjurkan sudah diimplementasikan, insya-Allah instrumen TR dapat diperbanyak sesuai kebutuhan. dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pengumpulan data. …. (Selengkapnya, lihat Tridharma, Juli 2008).
Selamat mencoba!
DAFTAR PUSTAKA
As-Sirjani, Raghib. (2007). Spiritual Reading: Hidup Lebih Bermakna dengan Membaca. Solo: Aqwam
Damaianti, Vismaia Sabariah. (1995). Kecendrungan Pola Sintaksis dan Semantis Wacana Ilmiah dan Wacana Sastra Terpilih Dilihat dari Segi Tingkat Keterpahamannya (Tesis). Bandung: Program Pascasarjana IKIP
Nadeak & Djajasudarma. (1996). Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: Pustaka Wina
Harjasujana, A.S. (1987). “Penyelarasan Buku dan Siswa” dalam Materi Kuliah Seminar Pengajaran Bahasa. Jakarta: P2LPTK
Harjasujana, A.S. dan Mulyati Y. 1997. “Bahan Ajar Membaca dan Keterbacaan” dalam Membaca 2. Jakarta:Ditjen Dikdasmen.
M. Echols, John dan Shadily, Hassan. 1982. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia
Mulyati, Yeti. 1995. “Teknik Rumpang: Suatu Alternatif Metode Pengujian Keterbacaan Wacana dan Strategi Pembelajaran Membaca” dalam Media Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia No.1. Bandung: FPBS-IKIP
Nuttal. 1989. The Teaching of Reading Skill. Oxford: Heinemann International
Salem, Laurensius. 1999. Tingkat Keterbacaan Bahan Mulok bagi Murid SD Berdasarkan Pertimbangan Pakar dan Hasil Tes (Tesis). Bandung: Pascasarjana UPI
Sulastri, I. 2008. “Teknik Isi Rumpang: Pemanfaatannya untuk Mengestimasi Keterbacaan Wacana” dalam Tridharma, Majalah Kopertis Wilayah IV Nomor 12 Tahun XX Juli 2008. Bandung: Kopertis IV
BAS, 19 Juli 2010
_______
*) Tulisan ini pernah dimuat dalam Tridharma, majalah ilmiah Kopertis Wilayah IV Jawa Barat nomor 12 tahun XX, Juli 2008. Dalam rangka berbagi dengan teman-teman yang belum sempat membacanya, sengaja penulis muat dalam Blog ini dengan sedikit modifikasi. Semoga bermanfaat (Isna Sulastri ).
Isna Sulastri
Januari 10, 2011 at 3:31 am
Wacana ini sengaja dibagikan cuma-cuma dengan harapan dapat dimanfaatkan sesuai ketulusan niat penulisnya. Siapa pun boleh mengunggahnya. Jika ingin dimanfaafkan untuk kepentingan penulisan wacana baru, silakan dikopi-paste, tentu sesuai etika keilmuan yang sudah sama-sama kita kitahui. Terima kasih dan semoga bermanfat. Wassalam.
irma
Juni 7, 2012 at 11:56 pm
asalamualaikum..
teteh saya mau tanya dimana bisa dapat buku Harjasujana, A.S. dan Mulyati Y. 1997. “Bahan Ajar Membaca dan Keterbacaan” dalam Membaca 2. Jakarta:Ditjen Dikdasmen. Apa bisa didapat di toko buku???
Isna Sulastri
Juni 8, 2012 at 11:30 am
Waalaikum salam wr.wb.
Irma yang baik,Teteh masih menyimpan buku itu.
Jika Irma membutuhkan, silakan datang ke rumah.
Kalau di toko buku Teteh kurang tahu, mungkin tidak ada.
Terima kasih sudah berkunjung dan sampai jumpa lagi.
Wassalam.
Roni samudera
September 18, 2013 at 4:27 am
teh, kog daftar pustakanya g ada? aku pengin tau lebih jauh tentang tes rumpang nih teh? kira-kira buku nya apa ya? makasih sebelumnya teh?
Ilham Baehaki
November 6, 2014 at 3:36 am
Assalaamu’alaikum warahmatullah..bunda yang baik, saya alumnus UNINUS 2008 ..saya sedang mencari buku tentang teknik rumpang bunda, apakah bunda berkenan memberikan referensinya?jazakallah khoir bunda